Munculnya media sosial mempunyai dampak besar terhadap masyarakat, membentuk segalanya mulai dari cara kita berkomunikasi hingga cara kita mengonsumsi berita. Sayangnya, hal ini juga memberikan platform bagi kelompok ekstremis untuk menyebarkan ideologi mereka dan merekrut anggota baru. Salah satu kelompok yang terkenal karena kehadiran online mereka adalah Laskar89, sebuah kelompok ekstremis sayap kanan yang dikaitkan dengan berbagai tindakan kekerasan di Indonesia.
Laskar89 pertama kali mendapat perhatian pada tahun 2016 ketika pemimpinnya, Eggi Sudjana, mulai menggunakan media sosial untuk menyebarkan retorika anti-pemerintah dan anti-asing. Kelompok ini dengan cepat mendapatkan pengikut, dengan ribuan pendukung berbondong-bondong mengunjungi halaman Facebook dan Twitter mereka untuk berbagi dan mempromosikan pandangan ekstremis mereka. Hasilnya, Laskar89 mampu merekrut anggota baru dan memobilisasi mereka untuk melakukan aksi kekerasan, termasuk penyerangan terhadap agama minoritas dan aktivis sayap kiri.
Pengaruh Laskar89 dan kelompok ekstremis lainnya di media sosial tidak bisa dilebih-lebihkan. Platform seperti Facebook, Twitter, dan YouTube telah menyediakan alat yang ampuh bagi kelompok-kelompok ini untuk menjangkau khalayak luas dan menyebarkan ideologi kebencian mereka. Penggunaan algoritme yang memprioritaskan keterlibatan dan viralitas hanya memperkuat pesan mereka, sehingga memudahkan mereka merekrut anggota baru dan meradikalisasi individu yang rentan.
Menanggapi ancaman yang semakin besar ini, perusahaan media sosial telah mengambil langkah-langkah untuk menindak konten ekstremis. Facebook, misalnya, telah menerapkan kebijakan untuk menghapus ujaran kebencian dan melarang kelompok ekstremis dari platformnya. Namun, langkah-langkah ini belum cukup untuk membendung gelombang ekstremisme di media sosial, karena kelompok seperti Laskar89 terus mencari cara untuk menghindari pembatasan ini dan menyebarkan pesan mereka.
Untuk benar-benar memerangi pengaruh kelompok ekstremis seperti Laskar89 di media sosial, diperlukan pendekatan multifaset. Hal ini mencakup regulasi dan penegakan hukum yang lebih baik oleh perusahaan media sosial, peningkatan kesadaran dan pendidikan tentang bahaya ideologi ekstremis, dan dukungan terhadap narasi tandingan yang mendorong toleransi dan saling pengertian. Dengan bekerja sama, kita dapat membantu memastikan bahwa media sosial digunakan sebagai kekuatan untuk kebaikan, bukan sebagai platform kebencian dan kekerasan.
